Indonesia adalah bangsa yang majemuk, bahkan Indonesia adalah salah satu
negara multikultural terbesar di dunia. Menurut Atho’ Mudzhar multikulturalitas
bangsa Indonesia ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu perbedaan vertikal dan
perbedaan horizontal. Perbedaan vertikal ditandai dengan realitas adanya
pelapisan sosial atas-bawah dalam struktur kemasyarakan sebagai akibat
perbedaan masing-masing individu di bidang politik, ekonomi, sosial dan
pendidikan. Sedangkan perbedaan horizontal adalah perbedaan masyarakat
berdasarkan kesatuan sosial budaya suku, ras, bahasa, adat-istiadat dan agama.
Multikulturalitas bangsa Indonesia ini bisa diibaratkan pisau bermata ganda. Di
satu sisi ia menjadi potensi yang berharga dalam membangun peradaban bangsa,
disisi lain apabila tidak dapat dikelola dengan baik, multikulturalitas
tersebut akan memunculkan konflik yang mampu menghancurkan sendi-sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara bahkan disintegrasi bangsa.
Perbedaan-perbedaan tersebut akan menjadi beban atau kekayaan tergantung
bagaimana cara mengolahnya. Dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang telah
dicetuskan oleh para founding fathers bangsa ini, diharapkan masyarakat
Indonesia dapat hidup bersama berdampingan dalam suasana aman, damai, dan
sejahtera.
Sungguhpun demikian, kita juga tidak dapat menutup mata pada adanya kenyataan
bahwa dalam kehidupan masyarakat yang plural seringkali terjadinya konflik yang
pada akhirnya akan menyebabkan terganggunya stabilitas dan ketidakharmonisan.
Di Indonesia seringkali muncul fenomena kekerasan seperti konflik etnis,
konflik antar umat beragama, dan konflik lainnya. Salah satu contoh masalah
yang dapat kita temui dalam kehidupan beragama yang plural ini adalah
kecurigaan dan kesalahfahaman dari satu penganut agama terhadap sikap dan
perilaku agama lain, malah juga terhadap sesama penganut agama tertentu.
Hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu menghormati hak-hak orang lain, adalah
bentuk nyata sebagai bagian dari multikulturalisme itu.
Tidak tidak bisa dibantah bahwa, pada akhir-akhir ini,
ketidakerukunan antar dan antara umat beragama yang terpicu karena bangkitnya
fanatisme keagamaan menghasilkan berbagai ketidakharmonisan di tengah-tengah
hidup dan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Oleh sebab itu,
perlu orang-orang yang menunjukkan diri sebagai manusia beriman dan beragama
dengan taat, namun berwawasan terbuka, toleran, rukun dengan mereka yang
berbeda agama. Disinilah letak salah satu peran umat beragama dalam rangka
hubungan antar umat beragama, yaitu mampu beriman dengan setia dan
sungguh-sungguh, sekaligus tidak menunjukkan fanatik agama dan fanatisme keagamaan.
Di balik aspek perkembangan agama-agama, ada hal yang penting pada agama yang
tak berubah, yaitu credo atau pengakuan iman. Credo merupakan
sesuatu khas, dan mungkin tidak bisa dijelaskan secara logika, karena
menyangkut iman atau percaya kepada sesuatu di luar jangkauan kemampuan nalar
manusia. Dan seringkali credo tersebut menjadikan umat agama-agama
melakukan pembedaan satu sama lain. Dari pembedaan, karena berbagai sebab, bisa
berkembang menjadi pemisahan, salah pengertian, beda persepsi, dan lain
sebagainya, kemudian berujung pada konflik.
Jika di sejumlah daerah terjadi konflik antar umat beragama lantaran dipicu
pendirian tempat ibadat, di Nusa Dua Bali justru sebaliknya. Lima tempat Ibadat
mulai dari Masjid, Pura, Gereja Katholik dan protestan, hingga Vihara berdiri
berdampingan tanpa ada sedikitpun pertikaian, bahkan hal tersebut semakin
meningkatkan kerukunan antar umat beragama.
Berdiri di atas
tanah seluas 2 hektar, Masjid Ibnu Batutah ini dibangun pada tahun 1994 lalu
dan diresmikan 3 tahun setelahnya. Masjid dan 4 tempat ibadat lain di dalam
komplek puja mandala ini berdiri atas bantuan PT. BTDC (Bali Tourism
Development Centre) yang memberikan bantuan tanah untuk membangun 5 tempat
ibadat tersebut.
Alasan dibangunnya komplek Puja Mandala ini karena minimnya tempat Ibadat
khususnya umat Muslim di kawasan Nusa Dua. Selain untuk kebutuhan warga muslim
sekitar di kawasan Nusa Dua dan sekitarnya, masjid ini juga banyak dikunjungi
wisatawan yang hendak menunaikan Ibadah sholat lima waktu di sela-sela
liburannya di Bali.
Meski berdampingan dengan tempat Ibadat umat lain, selama ini tidak pernah
ada konflik yang disebabkan ketidakharmonisan antar sesama. Bahkan, jika ada
kegiatan keagamaan dalam waktu yang bersamaan, umat disini saling berinteraksi
satu sama lain untuk mempererat kerukunan.
“Ada nuansa
pendidikan di dalam kebersamaan itu, bagaimanapun tempat ibadah yang dibangun
dan bentuknya juga relative besar, akhirnya umat itu sering ketemu,” ujar Soleh
Wahidin, Ketua Takmir Masjid Ibnu Batutah.
“Umat Islam
pada saat hari Jumat dan kebetulan umat katholik juga mengadakan acara, jadi
kita sering interaksi,” imbuhnya.
Selain keunikan
lokasinya yang berdampingan dengan 4 tempat ibadat lain, keindahan alam di
sekitar Masjid Ibnu Batutah menjadi daya tarik tersendiri bagi jama’ah yang
berkunjung. Dari atas masjid, jama’ah dapat melihat pemandangan laut bagian
selatan pulau dewata
Referensi :
http://oase.kompas.com/read/2010/08/16/1822474/5.Tempat.Ibadah.Berdampingan.di.Bali
Referensi :
http://oase.kompas.com/read/2010/08/16/1822474/5.Tempat.Ibadah.Berdampingan.di.Bali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar